KRITIK TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Mu’arif Nur Rizqi
Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia mengatur seluruh hal tentang pendidikan di Indonesia, termasuk
permasalahan-permasalahan di dalamnya harus diselesaikan dengan mengacu pada
Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Pada kenyataannya, Sistem Pendidikan Nasional
ini tidak cukup mampu menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.
Perlu diketahui, Sistem
Pendidikan Nasional merupakan warisan dari Sistem pendidikan yang dirancang
oleh Belanda untuk warga pribumi di Indonesia beberapa abad lalu. Pendidikan
tersebut terbatas pada menulis, membaca, dan berhitung. Hal ini tanpa alasan,
karena tujuan mereka hanya ingin menempatkan rakyat sebagai buruh-buruh kasar.
Dan inilah yang diterapkan kini di Indonesia, perbedaannya jika dahulu rakyat
diberikan pendidikan untuk menjadi pegawai rendahan bahkan seorang buruh kasar
sedangkan sekarang pendidikan yang diberikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk
pengisi kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar lalu mencari kerja dan
dapat penghasilan. Terlepas dari semua itu, seharusnya sistem pendidikan dapat
menstimulasi peserta didik untuk dapat berpikir sebagai mental penjajah bukan
sebagai mental orang yang terjajah.
Dalam UU No.20 Tahun 2003
disebutkan bahwa “visi pendidikan nasional adalah memberdayakan semua warga negara Indonesia,
sehingga dapat berkembang menjadi manusia berkualitas yang mampu bersaing dan
sekaligus bersanding dalam menjawab tantangan zaman”. Pada kenyataannya pendidikan yang tidak merata,
praktek KKN dalam CPNS masih terjadi. Jadi, siapakah yang harus bertanggung
jawab atas karut marutnya fenomena ini? Apakah kepada sistem atau oknum yang
menerapkan sistem?
Selain itu, pemerintah telah
memberikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN maupun APBD untuk
kelancaran pendidikan hal ini terjadi ketimpangan dengan UU No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah , dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah. Ketimpangan yang terjadi adalah ketimpangan
antara anggaran yang diperuntukkan kepada pemerintah provinsi dan anggaran
pendidikan untuk wilayah kabupaten. Setidaknya, kabupaten akan kewalahan untuk
masalah pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan awal.
Disebutkan pula dalam Sistem
Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi-potensi
peserta didik yang menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Namun, dalam praktek atau pelaksanaannya bertolak
belakang dengan tujuan tersebut, dimana pendidikan agama di setiap sekolah
hanya beberapa jam saja setiap minggunya begitu pula di Perguruan Tinggi, mata
kuliah agama yang tidak berpengaruh terhadap watak dan akhlak mahasiswa
(kecuali bagi mereka yang sadar secara individualis dengan aktif di
organisasi-organisasi keislaman).
Terlepas dari semua kenyataan
yang memilukan tersebut, kami sebagai peserta didik yang menjadi objek langsung
dari Sistem Pendidikan Nasional ini mengharapkan bahwa pendidikan seharusnya dapat menstimulasi peserta didik untuk dapat berpikir
sebagai mental penjajah bukan sebagai mental orang yang terjajah (bukan arti
yang sebenarnya.
Sumber Bacaan
http://moshimoshi.netne.net/materi/ilmu_pendidikan/bab_8.htm (diakses pada 1 Juni
2013).
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/05/03/3/151026/Sistem-Pendidikan-Nasional-Gagal-Atasi-Persoalan-Bangsa (diakses pada 1 Juni
2013).
http://sarastiana.blog.ugm.ac.id/2013/05/27/masih-tentang-dualisme-sistem-pendidikan-nasional-desentralisasi-dan-sentralisasi/ (diakses pada 1 Juni
2013).