BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam jiwa manusia terdapat keindahan
yang melekat secara utuh, naluri yang tertanam akan budaya ataupun kebudayaan,
segala bentuk yang membuat manusia itu hidup tertata dalam masyarakat adalah budaya
itu sendiri yang dimana setiap manusia wajib melestarikan budaya demi
kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat. Dengan melestarikan budaya nasional,
warga Indonesia mampu mencerminkan jati diri bangsa Indonesia yang bersumber terhadap keselarasan jiwa setiap masyarakatnya,
untuk itulah manusia yang ideal harus menganggap budaya sebuah hal yang
intens.
Dari berbagai definisi budaya yang
terbilang banyak, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata (konkrit), misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam makalah ini akan dibahas yakni
sistem sosial budaya suku bugis Makassar dalam konteks hidup dan perkembangan
atau ciri khas mereka.
B.
Rumusan
Masalah
·
Apa yang dimaksud dengan sistem sosial
budaya?
·
Bagaimana bentuk sistem sosial budaya
suku bugis Makassar?
C.
Tujuan
·
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang
sistem sosial budaya bugis Makassar.
·
Memenuhi tugas final Mata Kuliah
Antropologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Sosial Budaya
Aktivitas adalah wujud kebudayaan
sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini
sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat
tata kelakuan. Sifatnya konkrit, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat
diamati serta didokumentasikan.
Menurut Garna (1994), “sistem sosial
adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang
memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari
tindakan-tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial
merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”.
Dalam pergaulan sehari-hari, dapat ditemukan
istilah mentalitas. Mentalitas adalah kemampuan rohani yang ada dalam diri
seseorang, yang menuntun tingkah laku serta tindakan dalam hidupnya. Pantulan
dalam tingkah laku itu menciptakan sikap tertentu terhadap hal-hal serta
orang-orang di sekitarnya. Sikap mental ini sebenarnya sama saja dengan sistem
nilai budaya (culture value system) dan sikap (attitude).
Sistem nilai budaya (atau suatu sistem
budaya) adalah rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar suatu warga masyarakat. Hal itu menyangkut apa dianggapnya penting dan
bernilai. Maka dari itu suatu sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan
yang memberikan arah serta dorongan pada perilaku manusia. Sistem tersebut
merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas.
Karena itu konsep tersebut biasanya
hanya dirasakan saja, tidak dirumuskan dengan tegas oleh warga masyarakat yang
bersangkutan. Itulah juga sebabnya mengapa konsep tersebut sering sangat
mendarah daging, sulit diubah apalagi diganti oleh konsep yang baru.
Bila sistem nilai budaya tadi memberi
arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal
itu nampak dalam norma-norma, hukum serta aturan-aturan. Norma-norma dan
sebagainya itu seharusnya bersumber pada, dijiwai oleh serta merincikan sistem
nilai budaya tersebut.
Konsep sikap bukanlah bagian dari
kebudayaan. Sikap merupakan daya dorong dalam diri seorang individu untuk
bereaksi terhadap seluruh lingkungannya. Bagaimana pun juga harus dikatakan
bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh kebudayaannya. Artinya, yang dianut
oleh individu yang bersangkutan.
Dengan kata lain, sikap individu yang tertentu
biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan
konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. Namun demikian harus pula dikatakan
bahwa dalam pengamatan tentang sikap-sikap seseorang sulitlah menunjukkan
ciri-cirinya dengan tepat dan pasti. Itulah juga sebabnya mengapa tidak dapat
menggeneralisasi sikap sekelompok warga masyarakat dengan bertolak (hanya) dari
asumsi yang umum saja.
Dari penjelasan di atas mengenai
pengertian sistem, sistem sosial dan sistem budaya dapat dinyatakan secara
sederhana dalam arti luas bahwa pengertian Sistem Sosial Budaya yaitu suatu
keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang
saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama
sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam
bermasyarakat.”
B.
Sistem
Kepercayaan Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak
tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka
merupakan penganut agama Islam yang taat. Agama Islam masuk ke
daerah ini sejak abad ke-17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses
islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan
pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman
pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo,
mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan
beberapa nama, yaitu:
1.
Patoto-e,
yaitu Dia yang menentukan nasib.
2.
Dewata
Seuwa-e, yaitu Dewa yang tunggal.
3.
Turie
a’rana, yaitu Kehendak yang tertinggi.
Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat
pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa
di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat
mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu
didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut:
1.
Ade’
(ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri
atas:
a. Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma
mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan
kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan
antar kaum kerabat.
b. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan,
yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta
pembinaan insan politik.
Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat
Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’,
pampawa ade’, dan parewa ade.’
2.
Bicara,
berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan
konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan,
dan mengajukan gugatan.
3.
Rampang,
berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng,
rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis
masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi
dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku
ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun
pemerintahan.
4.
Wari,
adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai
benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan
dan hubungan kekerabatan antarraja.
5.
Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata
hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin
menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut
menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat,
dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa
kehormatan seseorang.
C.
Sistem
Kekerabatan Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
1.
Assialang
marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2.
Assialana
memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu.
3.
Ripanddeppe’
mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal,
tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang
bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau
sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
1.
Anak
dengan ibu atau ayah.
2.
Saudara
sekandung.
3.
Menantu
dan mertua.
4.
Paman
atau bibi dengan kemenakannya.
5.
Kakek
atau nenek dengan cucu.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan
adalah:
1.
Mappuce-puce,
yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk
mengadakan peminangan.
2.
Massuro,
yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis
untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
3.
Maduppa,
yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan
datang.
D.
Sistem
Politik Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak
mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten
tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung
lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas
sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu
biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai,
diusahakan membangun rumah membelakangi sungai.Pusat kampung lama ditandai
dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi
tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh
seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo’, toddo’). Kepala kampung
dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli
disebut wanua, pa’rasangan atau bori.’ Pemimpin wanua oleh orang Bugis
dinamakan arung palili atau sullewatang, orang Makassar menyebutnya gallarang
atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari
zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:
a.
Anakarung atau anak’kareang, yaitu lapisan
kaum kerabat raja-raja.
b.
To-maradeka, yaitu lapisan orang
merdeka.
c.
Ata, yaitu lapisan budak.
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata
mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anak’karung atau to-maradeka.
Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai,
tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam
sistem birokrasi kepegawaian.
E.
Sistem
Ekonomi Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Orang
Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian
mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas.
Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar.
Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi
perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina.
Mereka
merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim
sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga
pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh
Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar
mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai
jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea
(sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan
sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui
tengkulak binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20
ekspor teripang sangat maju.
Selain
pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah
tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung
sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba
adalah salah satu contohnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem Sosial Budaya adalah suatu
keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia
yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta
bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam bermasyarakat.
Suku Bugis Makassar merupakan sebuah
suku yang kaya akan kebudayaan abstrak maupun kebudayaan konkrit. Persentase jumlah penduduk suku
Bugis di Sulawesi Selatan adalah sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7%.Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang
merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung
lama (desa gaya baru). Sistem kekerabatan
dalam kebudayaan Bugis-Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat Bugis
dan Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat raja-raja,
tom aradeka atau lapisan orang merdeka, dan ata atau lapisan orang budak.
Sekitar
90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan
hanya10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Karena masyarakat Bugis
dan Makassar tersebar di dataran rendah
yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai
petani dan nelayan.
Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis
adalah pedagang. Kemudian ada sisi seni juga yang biasanya menjadi mata
pencarian bagi sukuBugis
dan Makassar, yakni pembuatan sarung tenun sutra. Bahasa yang diucapkan oleh
sukuBugis disebut bahas ugi sementara suku Makassar disebut mangkasara. Adapun
huruf yang dipakai dalam naskah Bugis maupun
Makassar yakni, aksara lontara. Diantara buku terpenting dalam kesusasteraan
suku Bugis-Makassar adalah buku sure galigo, suatu himpunan besar dari
mitologi yang bagi kebanyakan orang mempunyai nilai yang keramat.
Potensi
paling besar bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah dalam sektor pelayaran
rakyatdan perikanan, karena usaha-usaha ini sudah merupakan usaha-usaha yang
telah dijalankan sejak beberapa abad lamanya oleh orang Bugis-Makassar,
sehingga dapat dikatakan telah mendarah daging dalam alam jiwa mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Kadir. 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Ternggara. Makassar: Balai Litbang Agama Makassar.
Garna, Judistira K. 1991. Sistem Budaya Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Mattuladda.
1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita
Antropologi No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.
------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis
Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Disertasi.
http://texbuk.blogspot.com/2011/11/kebudayaan-suku-bangsa-bugis-makassar_1709.html#ixzz1z5gV6zA4 (diakses pada 29
Juni 2012).