Senin, 02 Juli 2012

Sistem Sosial Budaya Bugis Makassar

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam jiwa manusia terdapat keindahan yang melekat secara utuh, naluri yang tertanam akan budaya ataupun kebudayaan, segala bentuk yang membuat manusia itu hidup tertata dalam masyarakat adalah budaya itu sendiri yang dimana setiap manusia wajib melestarikan budaya demi kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat. Dengan melestarikan budaya nasional, warga Indonesia mampu mencerminkan jati diri bangsa Indonesia yang bersumber terhadap keselarasan jiwa setiap masyarakatnya, untuk itulah manusia yang ideal harus menganggap budaya sebuah hal yang intens.
Dari berbagai definisi budaya yang terbilang banyak, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata (konkrit), misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Dalam makalah ini akan dibahas yakni sistem sosial budaya suku bugis Makassar dalam konteks hidup dan perkembangan atau ciri khas mereka.

B.     Rumusan Masalah
·         Apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya?
·         Bagaimana bentuk sistem sosial budaya suku bugis Makassar?

C.    Tujuan
·         Menambah wawasan dan pengetahuan tentang sistem sosial budaya bugis Makassar.
·         Memenuhi tugas final Mata Kuliah Antropologi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Sosial Budaya
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkrit, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati serta didokumentasikan.
Menurut Garna (1994), “sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”.
Dalam pergaulan sehari-hari, dapat ditemukan istilah mentalitas. Mentalitas adalah kemampuan rohani yang ada dalam diri seseorang, yang menuntun tingkah laku serta tindakan dalam hidupnya. Pantulan dalam tingkah laku itu menciptakan sikap tertentu terhadap hal-hal serta orang-orang di sekitarnya. Sikap mental ini sebenarnya sama saja dengan sistem nilai budaya (culture value system) dan sikap (attitude).
Sistem nilai budaya (atau suatu sistem budaya) adalah rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat. Hal itu menyangkut apa dianggapnya penting dan bernilai. Maka dari itu suatu sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah serta dorongan pada perilaku manusia. Sistem tersebut merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas.
Karena itu konsep tersebut biasanya hanya dirasakan saja, tidak dirumuskan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Itulah juga sebabnya mengapa konsep tersebut sering sangat mendarah daging, sulit diubah apalagi diganti oleh konsep yang baru.
Bila sistem nilai budaya tadi memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal itu nampak dalam norma-norma, hukum serta aturan-aturan. Norma-norma dan sebagainya itu seharusnya bersumber pada, dijiwai oleh serta merincikan sistem nilai budaya tersebut.
Konsep sikap bukanlah bagian dari kebudayaan. Sikap merupakan daya dorong dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap seluruh lingkungannya. Bagaimana pun juga harus dikatakan bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh kebudayaannya. Artinya, yang dianut oleh individu yang bersangkutan.
Dengan kata lain, sikap individu yang tertentu biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. Namun demikian harus pula dikatakan bahwa dalam pengamatan tentang sikap-sikap seseorang sulitlah menunjukkan ciri-cirinya dengan tepat dan pasti. Itulah juga sebabnya mengapa tidak dapat menggeneralisasi sikap sekelompok warga masyarakat dengan bertolak (hanya) dari asumsi yang umum saja.
Dari penjelasan di atas mengenai pengertian sistem, sistem sosial dan sistem budaya dapat dinyatakan secara sederhana dalam arti luas bahwa pengertian Sistem Sosial Budaya yaitu suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.”

B.     Sistem Kepercayaan Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak tinggal di Kabupaten Maros dan Pangkajene Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka merupakan penganut agama Islam yang taat. Agama Islam masuk ke daerah ini sejak abad ke-17. Mereka dengan cepat menerima ajaran Tauhid. Proses islamisasi di daerah ini dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar. Pada zaman pra-Islam, religi orang Bugis-Makassar, seperti tampak dalam Sure’ Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:
1.        Patoto-e, yaitu Dia yang menentukan nasib.
2.        Dewata Seuwa-e, yaitu Dewa yang tunggal.
3.        Turie a’rana, yaitu Kehendak yang tertinggi.
Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makassar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang keramat dan sakral. Sistem adat yang keramat itu didasarkan pada lima unsur pokok sebagai berikut:
1.        Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri atas:
a.       Ade’ Akkalabinengneng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan-santun pergaulan antar kaum kerabat.
b.      Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik.
Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’
2.        Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan.
3.        Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai bagian dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan suatu keputusan hakim tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan di masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah-laku ideal dalam berbagai bidang kehidupan, baik kekerabatan, politik, maupun pemerintahan.
4.        Wari, adalah bagian dari panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja.
5.        Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.
C.    Sistem Kekerabatan Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
1.      Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2.      Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
3.      Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
1.      Anak dengan ibu atau ayah.
2.      Saudara sekandung.
3.      Menantu dan mertua.
4.      Paman atau bibi dengan kemenakannya.
5.      Kakek atau nenek dengan cucu.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah:
1.      Mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
2.      Massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
3.      Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.

D.    Sistem Politik Kebudayaan  Suku Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai.Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo’, toddo’). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua, pa’rasangan atau bori.’ Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sullewatang, orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan sekarang wanua sama dengan kecamatan.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:
a.         Anakarung atau anak’kareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja.
b.         To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka.
c.         Ata, yaitu lapisan budak.
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu juga anak’karung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian.

E.     Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina.
Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju.
Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran,dan perdagangan, usaha kerajinan rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan. Tenunan sarung sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba adalah salah satu contohnya.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.
Suku Bugis Makassar merupakan sebuah suku yang kaya akan kebudayaan abstrak maupun kebudayaan konkrit. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7%.Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama (desa gaya baru). Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Bugis-Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat Bugis dan Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat raja-raja, tom aradeka atau lapisan orang merdeka, dan ata atau lapisan orang budak.
Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Karena masyarakat Bugis dan Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan.
Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Kemudian ada sisi seni juga yang biasanya menjadi mata pencarian bagi sukuBugis dan Makassar, yakni pembuatan sarung tenun sutra. Bahasa yang diucapkan oleh sukuBugis disebut bahas ugi sementara suku Makassar disebut mangkasara. Adapun huruf yang dipakai dalam naskah Bugis maupun Makassar yakni, aksara lontara. Diantara buku terpenting dalam kesusasteraan suku Bugis-Makassar adalah buku sure galigo, suatu himpunan besar dari mitologi yang bagi kebanyakan orang mempunyai nilai yang keramat.
Potensi paling besar bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah dalam sektor pelayaran rakyatdan perikanan, karena usaha-usaha ini sudah merupakan usaha-usaha yang telah dijalankan sejak beberapa abad lamanya oleh orang Bugis-Makassar, sehingga dapat dikatakan telah mendarah daging dalam alam jiwa mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kadir. 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara. Makassar: Balai Litbang Agama Makassar.
Garna, Judistira K. 1991. Sistem Budaya Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita Antropologi No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.
------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Disertasi.

1 komentar:

  1. memang elok budaya makassar,tiada duanya.
    dan orang-orangnya yang trampil giat.
    bagi yang ingin menjadi soundman handal.
    telah ada training sound system di makassar.
    kunjungi www.soundsystemschool.com atau contact : 0411-975088
    terima kasih.

    BalasHapus