RUANG
LINGKUP DAN PEMBIDANGAN FILSAFAT
Oleh: Mu’arif Nur Rizqi
Secara historis zaman terus berkembang
melalui hierarkis perkembangan yang terus dibarengi pula dengan
perubahan-perubahan sosial, dimana duahalini selalu berjalan ber-iringan.
Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas, menjadi hal yang problematic ketika
ia hidup dalam komunitas sosial. Kemerdekaan dirinya meng-alami benturan dengan
kemerdekaan individu-individu lain atau bahkan dengan makhluk yang lain.
Sehingga iaterus terikat dengan tata kosmik, bahwa bagaimana ia harus
berhubungan dengan orang lain, dengan alam, dengan dirinya sendiri maupun
dengan Tuhannya. Maka muncullah tata aturan, norma atau nilai-nilai yang
menjadi kesepakatan universal yang harus ditaati. Semacam hal tersebut di
ataslah peradaban manusia dimulai , dimana manusia harus selalu menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. la harus memegangi nilai-nilai aturan yang
berlaku mengatur hidup manusia.
Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat ,
mempunyai beberapa cabang ilmu utama. Cabang I1mu utama dari filsafat adalah
ontologi, epistimologi , tentang nilai (aksiologi), dan moral (etika). Ontologi
(metafisika) membahas tentang hakikat mendasar atas keberadaan sesuatu.
Epistimologi membahas pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asa
lnya (sumber) darimana sajakah pengeta- huanitu diperoleh manusia, apakah
ukuran kebenaran pengetahuan yang telah diperaleh manusia itudan bagaimanakah
susunan pengetahuan yang sudah diperaleh manusia. I1mu tentang nilai atau
aksiologi adalah bagian dari filsafat yang khusus membahas mengenai hakikat
nilai berkaitande ngan sesuatu.
Sedangkan filsafat moral membahas nilai
berkaitan dengan tingkah laku manusia dimana nilai disini meneakup baikdan
buruk serta benar dan salah. Berfilsafat adalah berpikir radikal, radix artinya
akar, sehingga berpikir radikal arti nya sampai ke akar suatu masalah, me
ndalam sampai ke akar-akarnya, bahkan me lewati batas-batas fisik yang ada,
memasuki medan pengembaraan diluar sesuatu yang fisik (Asy'arie,
2002: 3).
Berfilsafat adalah berpikir dalam tahap
makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, Berpikir dalam tahap makna
artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam
kandungan sesuatu itu. Dalam filsafat, seseorang mencari dan menemukan jawaban
dan bukan hanya dengan memperlihatkan penampakan (appearance) semata, melainkan
menelusurinya jauh dibalik penampakan itu dengan maksud menentukan sesuatu yang
disebut nilai dari sebuah realitas.
Filsafat memiliki objek bahasan yang sangat
luas, meliputi semuahal yang da pat dijangkau oleh pikiran manusia, dan
berusaha memaknai dunia dalam hal makna (Ans hori, 2005: 3).IImu hukum memiliki
ruang lingkup yang terbatas, karena hanya mempelajari tentang norma atau aturan
(hukum). Banyak persoalan- persoalan berkenaan dengan hukum membangkitkan
pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang memerlukan jawaban mendasar, Pada
kenyataannya banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tidak dapat di jawab
lagi oleh ilmu hukum. Persoalan-persoalan mendasar yang tidak dijawab oleh ilmu
hukum menjadi objek bahasan ilmu filsafat. Filsafat mempunyai objek berupa
segala sesuatu yangdapat dijangkau oleh pikiran manusia (Anshori, 2005: 4).
Konsep hukum mungkin dapat dikatakan
mempunyai pengertian yang ambigu, dwiarti, sehingga dapat menimbulkan
kekeliruan pengertian, baik seeara intelektual maupun seeara moral. Dapat
dikatakan ada dua macam hukum, yaitu hukum yang deskriptif dan hukum yang
preskriptif. Hukum yang deskriptif - decriptive laws – adalah hukum
yangmenunjukkan sesuatu itu dapat terjadi, misalnya hukum gravitasi, hukum Arehimedes
atau hukum yang berhubungan dengan ilmu-ilmu kealaman.Di samping itu , dapat
pula terpikirkan oleh kita mengenai hukum yang telah ditentukan atau hukum yang
memberi petunjuk - precriptive law - misalnya hukum yang diatur oleh para
otoritas yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan,
Hukum inilah yang merupakan bahan penelitian filsafat hukum, sedangkan hukum
yang deskriptif menjadi objek penelitian ilmu pengetahuan (Asdi, 1998: 2-3).
Dalam konteks umum kesalehan banyak dikaitkan
dengan, ketaatan kepada ketentuan hukum. Namun kesalehan yang bertumpu kepada
kesadaran hukum akan banyak berurusan dengan tingkah laku manusia, dan hanya
seeara parsial sajaberurusan dengan hal-hal batiniah (Madjid, 1992: 256).
Dengan kata lain,orientasi hukum lebih berat mengarah pada dimensi eksoteris,
dengan kernungkinan meng-abaikan dimensi esoteris. Divergensi antara kedua
orientasi keagama-an yang lahiriah (eksoteris) dan batiniah (esoteris)
memunculkan cabang ilmu yang berbeda, yaitu syariah (hukum) dan
thariqah (tasawuf) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar