Minggu, 10 Maret 2013

MAHASENG S. HASAN DALAM PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA MERAH PUTIH DI KENDARI


MAHASENG S. HASAN DALAM PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA MERAH PUTIH DI KENDARI
Oleh: Mu’arif Nur Rizqi


Gerakan Pemuda Merah Putih di Kendari tidak lepas dari peran seorang Mahaseng S. Hasan. Mahaseng adalah keturunan campuran Arab-Bugis. Ayahnya bernama H. Syech Hasan berketurunan Arab dan ibunya bernama Hania alias Puang Nia berketurunan Bugis. Orang tuanya tergolong orang mampu dan cukup tehormat dalam pergaulan masyarakat di Kendari kala itu. Ia merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Dari istri satu-satunya yang bernama Sitti Aisyah, ia dikaruniai seorang anak bernama Fatimah Hasan.
Dalam berbagai kesempatan, Mahaseng selalu mendampingi Supu Yusuf dalam perjalanan dari Kolaka menuju Wawotobi, Kendari, dan Boepinang dalam rangka propaganda penggalangan kekuatan dan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan baik di kalangan pemuda yang pro kemerdekaan maupun penguasa yang masih ragu-ragu seperti Raja Lasandara di Wawotobi dan Raja Tekaka di Kendari.
Pada akhir Oktober 1945 dari Kolaka Mahaseng S. Hasan dan Supu Yusuf mengunjungi Wawotobi dan memenuhi Raja Lasandara serta mengumpulkan pemuda-pemuda untuk mewujudkan suatu organisasi perjuangan.  Dalam pertemuan itu, kepala penerangan pemuda menguraikan dengan jelas beberapa soal-soal penting dalam rangka kemerdekaan bangsa Indonesia, beberapa tokoh terkemuka dalam rapat itu menyatakan kesanggupannya untuk ikut berjuang mempertahankan ngara RI bila benar-benar mendapat serangan dari Belanda. Tentang penyusunan organisasi pemuda diserahkan kepada Supu Yusuf dan Mahaseng.
Pada keesokan harinya di waktu pagi di awal bulan September 1945, untuk pertama kalinya diadakan upacara pengibaran Bendera Merah Putih diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya diikuti dan disaksikan oleh segenap penduduk dengan hikmad setelah itu barulah berlangsung secara hebat rapat umum yang dihadiri beribu-ribu orang laki-laki dan perempuan. Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk suatu wadah perjuangan bernama Sinar Pemuda Konawe yang sebelumnya dikibarkan bendera Merah Putih sebagai pertanda bahwa Wawotobi adalah wilayah RI. Dalam rapat itu dibahas tentang tiga jiwa demokrasi yakni permusyawaratan, rasa tanggung jawab, dan ada batas.
Ketika teman teman seperjuangan Mahaseng S. Hasan mulai memilih jalan menjadi pegawai Belanda ketimbang perjuangan membela kemerdekaan seperti Makmun Dg. Mattiro dan kawan-kawan, Mahaseng tetap memilih jalan menentang segala bentuk imperialism dan kolonialisme Belanda dengan cara sendiri sampai titik darah penghabisan.
Dijelaskan oleh Burhanuddin, bahwa ketegasan Mahaseng dalam menentang Belanda diketahui oleh Belanda yang mengakibatkan ia beserta ayahnya Syech Hasan seorang keturunan Arab bersama Marsuki guru dari Luwu Banggai yang yang kebetulan datang ke Kendari dan menginap di rumah merka, ditangkap Belanda pada tanggal 3 Maret 1946 dan rumah beserta isinya dibakar habis.
Dalam tahanan, Mahaseng dipukul dan disiksa dengan keras yang mengakibatkan cacat dan kesehatannya amat terganggu. Dalam suatu kesempatan pula secara sembunyi-sembunyi Mahaseng menempel lambing merah putih pada peralatan perang Jepang di pelabuhan Kendari, Raha, dan Bau-bau. Di pesisir pantai Kendari, dengan aksi perseorangan, Mahaseng berhasil memanjat tiang bendera Belanda dan segera merobek warna birunya dan tinggallah warna merah putih berkibar. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 2 September 1945.
Mahaseng S. Hasan berjuang melawan Belanda di Kendari bersama kawan-kawannya antara lain H.Razak Porohu, Malaka dan H. Nuhung. Mahaseng S. Hasan Adalah pemimpin gerakan pemuda Merah Putih di Kendari, salah satu cabang dari Pergerakan Pemuda Merah Putih yang berpusat di Kolaka. Kelompok-kelompok mereka ini bersembunyi di hutan-hutan, ketika malam hari mereka melakukan pertemuan untuk melakukan penyerbuan ke pihak Belanda. Melalui kerjasama inilah sehingga Mahaseng berhasil menaikkan bendera Merah Putih di pinggir pantai Kendari, di depan kantor SAR sekarang, dengan cara menurunkan bendera Belanda kemudian menyobek birunya dan kemudian meneriakkan kata yel-yel “merdeka-merdeka”.
Setelah tertangkapnya Mahaseng S. Hasan pada tanggal 3 Maret 1946, maka perjuangan Merah Putih di Kendari telah lumpuh sama sekali. Para pemuda dan anggota masyarakat yang repubikein diintimidasi, difitnah sehingga keragu-raguan dan rasa tidak aman meliputi mereka sehingga terpaksa bersikap hati-hati dengan berdiam diri, kecuali daerah Andoola masih tetap mengadakan perjuangan intuk menentang NICA.
Di dalam tahanan, Mahaseng disiksa dengan kejam sampai cacat yang mengakibatkan penyakit yang dibawa sampai akhir hayatnya pada tanggal 2 Juli 1950, empat tahun sesudah penyakit itu. Ia meninggal dalam usia 25 tahun, suatu usia yang masih sangat muda. Akan tetapi jasa dan pengabdiannya akan terus diukir dalam sejarah perjuangan bangsa dengan tinta emas. Ia dikebumikan di Jalan Tekaka (Gunung Potong) kemudian pada tanggal 9 Nopember 1984 kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Watubangga. Ia telah tiada namun namanya akan terus ada dalam deretan nama-nama pejuang yang telah ikut mengharumkan nama Sulawesi Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar