MAHASENG S. HASAN DALAM PERJUANGAN
GERAKAN PEMUDA MERAH PUTIH DI KENDARI
Oleh:
Mu’arif Nur Rizqi
Gerakan Pemuda Merah
Putih di Kendari tidak lepas dari peran seorang Mahaseng S. Hasan. Mahaseng
adalah keturunan campuran Arab-Bugis. Ayahnya bernama H. Syech Hasan
berketurunan Arab dan ibunya bernama Hania alias Puang Nia berketurunan Bugis.
Orang tuanya tergolong orang mampu dan cukup tehormat dalam pergaulan
masyarakat di Kendari kala itu. Ia merupakan anak ke tiga dari empat
bersaudara. Dari istri satu-satunya yang bernama Sitti Aisyah, ia dikaruniai
seorang anak bernama Fatimah Hasan.
Dalam berbagai
kesempatan, Mahaseng selalu mendampingi Supu Yusuf dalam perjalanan dari Kolaka
menuju Wawotobi, Kendari, dan Boepinang dalam rangka propaganda penggalangan
kekuatan dan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan baik di kalangan
pemuda yang pro kemerdekaan maupun penguasa yang masih ragu-ragu seperti Raja
Lasandara di Wawotobi dan Raja Tekaka di Kendari.
Pada akhir Oktober 1945
dari Kolaka Mahaseng S. Hasan dan Supu Yusuf mengunjungi Wawotobi dan memenuhi
Raja Lasandara serta mengumpulkan pemuda-pemuda untuk mewujudkan suatu
organisasi perjuangan. Dalam pertemuan
itu, kepala penerangan pemuda menguraikan dengan jelas beberapa soal-soal
penting dalam rangka kemerdekaan bangsa Indonesia, beberapa tokoh terkemuka
dalam rapat itu menyatakan kesanggupannya untuk ikut berjuang mempertahankan
ngara RI bila benar-benar mendapat serangan dari Belanda. Tentang penyusunan
organisasi pemuda diserahkan kepada Supu Yusuf dan Mahaseng.
Pada keesokan harinya
di waktu pagi di awal bulan September 1945, untuk pertama kalinya diadakan
upacara pengibaran Bendera Merah Putih diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia
Raya diikuti dan disaksikan oleh segenap penduduk dengan hikmad setelah itu
barulah berlangsung secara hebat rapat umum yang dihadiri beribu-ribu orang
laki-laki dan perempuan. Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk suatu wadah
perjuangan bernama Sinar Pemuda Konawe yang sebelumnya dikibarkan bendera Merah
Putih sebagai pertanda bahwa Wawotobi adalah wilayah RI. Dalam rapat itu
dibahas tentang tiga jiwa demokrasi yakni permusyawaratan, rasa tanggung jawab,
dan ada batas.
Ketika teman teman
seperjuangan Mahaseng S. Hasan mulai memilih jalan menjadi pegawai Belanda
ketimbang perjuangan membela kemerdekaan seperti Makmun Dg. Mattiro dan
kawan-kawan, Mahaseng tetap memilih jalan menentang segala bentuk imperialism
dan kolonialisme Belanda dengan cara sendiri sampai titik darah penghabisan.
Dijelaskan oleh
Burhanuddin, bahwa ketegasan Mahaseng dalam menentang Belanda diketahui oleh
Belanda yang mengakibatkan ia beserta ayahnya Syech Hasan seorang keturunan
Arab bersama Marsuki guru dari Luwu Banggai yang yang kebetulan datang ke
Kendari dan menginap di rumah merka, ditangkap Belanda pada tanggal 3 Maret
1946 dan rumah beserta isinya dibakar habis.
Dalam tahanan, Mahaseng
dipukul dan disiksa dengan keras yang mengakibatkan cacat dan kesehatannya amat
terganggu. Dalam suatu kesempatan pula secara sembunyi-sembunyi Mahaseng
menempel lambing merah putih pada peralatan perang Jepang di pelabuhan Kendari,
Raha, dan Bau-bau. Di pesisir pantai Kendari, dengan aksi perseorangan,
Mahaseng berhasil memanjat tiang bendera Belanda dan segera merobek warna
birunya dan tinggallah warna merah putih berkibar. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 2 September 1945.
Mahaseng S. Hasan
berjuang melawan Belanda di Kendari bersama kawan-kawannya antara lain H.Razak
Porohu, Malaka dan H. Nuhung. Mahaseng S. Hasan Adalah pemimpin gerakan pemuda
Merah Putih di Kendari, salah satu cabang dari Pergerakan Pemuda Merah Putih
yang berpusat di Kolaka. Kelompok-kelompok mereka ini bersembunyi di
hutan-hutan, ketika malam hari mereka melakukan pertemuan untuk melakukan
penyerbuan ke pihak Belanda. Melalui kerjasama inilah sehingga Mahaseng
berhasil menaikkan bendera Merah Putih di pinggir pantai Kendari, di depan
kantor SAR sekarang, dengan cara menurunkan bendera Belanda kemudian menyobek
birunya dan kemudian meneriakkan kata yel-yel “merdeka-merdeka”.
Setelah tertangkapnya
Mahaseng S. Hasan pada tanggal 3 Maret 1946, maka perjuangan Merah Putih di
Kendari telah lumpuh sama sekali. Para pemuda dan anggota masyarakat yang repubikein diintimidasi, difitnah
sehingga keragu-raguan dan rasa tidak aman meliputi mereka sehingga terpaksa
bersikap hati-hati dengan berdiam diri, kecuali daerah Andoola masih tetap
mengadakan perjuangan intuk menentang NICA.
Di dalam tahanan,
Mahaseng disiksa dengan kejam sampai cacat yang mengakibatkan penyakit yang
dibawa sampai akhir hayatnya pada tanggal 2 Juli 1950, empat tahun sesudah
penyakit itu. Ia meninggal dalam usia 25 tahun, suatu usia yang masih sangat
muda. Akan tetapi jasa dan pengabdiannya akan terus diukir dalam sejarah perjuangan
bangsa dengan tinta emas. Ia dikebumikan di Jalan Tekaka (Gunung Potong)
kemudian pada tanggal 9 Nopember 1984 kuburannya dipindahkan ke Taman Makam
Pahlawan Watubangga. Ia telah tiada namun namanya akan terus ada dalam deretan
nama-nama pejuang yang telah ikut mengharumkan nama Sulawesi Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar